KISAH SEDIH NAPIWARTI

KASUS I PERSPEKTIF DAN HAM
Kisah sedih napiwarti

Napiwarti masih belum reda tertegun-tegunnya. Gadis jomblo belasan tahun ini sudah 1 tahun berada dibalik jeruji penjara di suatu pulau. Walaupun sudah beberapa ulama, psikolog, dan pekerja sosial menguatkan kembali jiwanya, namun berita bahwa Presiden menolak grasinya membuatnya lunglai. Tak lama lagi ia akan dieksekusi hukuman matinya. Ia sial, karena terbukti menyelundupkan 1 kg heroin yang dititipkan majikannya, si “Ratu NAPZA”, di bandara negara tetangga.

“Napiwarti, masuk!”, perintah lelaki berjas putih mengusir lamunannya tentang saat menjelang eksekusinya. Ia masuk ke dalam bilik periksa. “Saya dr.Neko-Neko!” ucap laki-laki tadi. Tanpa basa-basi dan perkenalan, sang laki-laki menghardik lagi, “Saya akan ambil darahmu!” sergahnya. Napiwarti hanya bisa pasrah. Ia tak mengerti bahwa dr.Neko-Neko memasukkan suatu zat setelah mengambil darahnya. “Supaya kamu tenang!”, ujarnya. Ia pun kemudian terlelap.
Kejadian ini sudah ketiga kelinya. Setiap di ambil darah, ia terlelap. Tapi kali ini ia sempat mendengar bisikan salah satu staf Neko ke dokter tsb, “Nanti antibodinya kita teliti kadarnya, kemungkinan ada reaksi dengan obat yang kita masukkan minggu lalu”. Napiwarti benar-benar tak mengerti apa yang telah dicobakan ke dirinya menjelang ajal menanti. Tapi kali ketiga ini, kepalanya terasa pusing sebelum terlelap. Ia sempat disodorkan blanko kertas tertentu oleh dr.Neko-Neko, untuk ditandatanganinya. Pada kali 1 dan 2, blanko itu tidak pernah dilihatnya. Ketika terbangun, selalu dia sudah berada di selnya. Anehnya,kepalanya tidak pusing lagi walaupun darahnya diambil setiap minggu.
 Kali keempat, Napiwarti mengalami peristiwa lain lagi. Ia lebih cepat terbangun dari lelapnya. Walaupun masih lunglai, ia merasa digendong oleh seseorang dan di kawal oleh sipir wanita. Ternyata penggendongnya adalah sipir laki-laki. Kali kelima lain lagi kisahnya. Segera setelah ia terbangun, ia merasa celana panjang seragam tahanannya basah dan terasa lengket. Kemaluannya sakit, namun anehnya ia merasakan kesegaran luar biasa pada dirinya sebegitu terbangun. Ia lantas teringat, 2 bulan berselang, celana seragam napinya basah dan lengket ketika bangun dari mobil tahanan – saat ia dipindah dari LP di kotanya – tempat sang majikan juga ditahan – ke LP di pulau tersebut.
Kebetulan saat itu penjara heboh. Serombongan narapidana berupaya melarikan diri ketika sipir lengah dan tertidur pulas. Sipir yang biasa menggendongnya juga tertidur pulas. Beberapa narapidana putri mengajaknya kabur. Napiwarti tak ayal lagi ikut mereka lari keluar penjara dengan pakaian apa adanya. Semula ia tak mau dibawa ke dokter karena takut penyamarannya diketahui. Di kampung Kumuh yang di tepi pantai, tetangga dekat dengan perbatasan Malaysia, sehingga penduduk setempat banyak yang mondar (i) ke negara jiran tadi tanpa visa. Namun karena mualnya mulai tak tertahankan, ia akhirnya mau diajak ikut borobat. Ia baca spanduk berlogo “FK BETAH KULIAH” berdampingan dengan “RS MURAH MERIAH”. Ia yang semula panik, akhirnya justru merasa tenang karena suasana familiar. Diberanikan dirinya untuk periksa. Dokter-dokter yang memeriksa masih muda-muda sekali. Salah satunya dengan lugu mengucapkan sesuatu yang tak diduganya sama sekali, “Selamat, Bu, ibu hamil. Jangan lupa ibu kontrol di balkesmas ini dan anak ibu divaksinasi polio ya”, cerocos dokter muda tadi sambil meneruskan janji Bupati setempat yang menerima rombongan FKBK/RSMM, bahwa bulan depan sudah ada bidan desa disitu. Berita tersebut justru seperti merobek-robek hatinya. Kakinya lunglai dan badannya tiba2 terasa lemah, ia syok, “Oh, iya, dok, tentu, terima kasih”, ujarnya menguatkan sekaligus menenangkan diri, “Suami saya pasti senang sekali”, lanjutnya berbohong.
Napiwarti tak habis mengerti. Pergulatan batinnya terus menerus mengusiknya. Antara dendam terhadap semua lelaki penegak hukum di masa lalunya, khususnya selama ia terkena perkara menjelang eksekusinya, dengan rasa ingin tahu siapa sesungguhnya yang telah membuahinya. Antara takut ketahuan ia pelarian penjara dengan kemiskinan yang menghimpitnya. Antara takut dan malu bahwa ia hamil tanpa suami yang akan dikucilkan penduduk sekitar dengan marah kepada majikannya. Antara berbohong ke tetangganya dengan kasihan pada si jabang bayi dalam kandungannya karena mualnya sudah menghilang. Ia tak kuasa memutuskan pergulatan batinnya, sementara kehamilannya pun makin membesar Bulan berganti bulan, ia meneruskan kehamilannya dan kontrol di bidan desa setempat, “Ibu kok pucat sekali? Saya kirim ke kota ya. Melahirkan disana saja.” bujuk sang bidan. Napiwarti terus
menerus menolaknya, “Sudahlah, Bu, saya percaya sama ibu saja”, jawabnya, “Ke kota kan jauh, numpang boncengan motor perlu 4 jam, jalannya sempit dan becek, perut buncit begini mana bisa?”. Anemi kehamilan yang diderita Napiwarti terus berlanjut. Rasa bersalah masa lalunya sebagai mantan napi membuatnya memutuskan untuk menjadi ibu yang baik. Ia ingin memberikan kehidupan yang baik. Malang tak dapat ditolak, dalam proses persalinannya, terjadi penyulit yang tak bisa diatasi sang bidan desa. Perdarahan telah merenggut nyawanya, walaupun bayinya hidup. Untung tak dapat diraih, sang bayi karena masih dapat dibawa ke kota naik ojek, sempat tertolong dan kini tengah dipelihara oleh panti sosial setempat.



Komentar

Postingan Populer