Mekanisme Penyakit Estrogen Karsinogenesis pada Kanker Payudara



MEKANISME PENYAKIT

ESTROGEN KARSINOGENESIS PADA KANKER PAYUDARA

James D. Yager, Ph.D., dan Nancy E. Davidson, M.D.

Dalam artikel ini, kami meninjau ulang temuan terbaru yang berhubungan dengan pemaparan estrogen dan risiko kanker payudara, mekanisme yang mungkin terlibat dan implikasi klinis pada temuan-temuan ini. Besarnya bukti memberikan indikasi bahwa pemaparan terhadap estrogen merupakan faktor penentu penting pada risiko kanker payudara. Mekanisme karsinogenesis pada payudara yang disebabkan oleh estrogen termasuk metabolisme estrogen menjadi genotoksik, metabolit mutagen dan stimulasi pertumbuhan jaringan. Proses tersebut bersama-sama menyebabkan inisiasi, promosi, dan progresi karsinogenesis. Memahami lebih dalam mekanisme yang menjadi penyebab kanker oleh estrogen akan mengidentifikasi faktor penentu yang peka terhadap kanker payudara dan target baru untuk pencegahan dan intervensi terapeutik.

FAKTOR RESIKO HORMONAL BAGI PERKEMBANGAN KANKER PAYUDARA

Hubungan antara risiko kanker payudara dan peningkatan level estrogen darah yang terus menerus telah dijumpai secara tetap pada kebanyakan studi. Faktor risiko sehubungan-endokrin secara teratur dihubungkan dengan peningkatan risiko relatif kanker payudara pada wanita paska menopause. Satu dari faktor-faktor tersebut adalah obesitas, yang mungkin berhubungan dengan peningkatan produksi estrogen aktivitas aromatase pada jaringan adiposa payudara. Faktor lain adalah peningkatan level estrogen endogen darah (risiko relatif, 2 : 2,58). Peningkatan risiko relatif juga dihubungkan dengan level androstenedion dan testosteron darah yang lebih tinggi dari normal, androgen yang secara langsung dapat diubah oleh aromatase menjadi estrogen estron dan estradiol, secara berurutan. Peningkatan level estrogen dan androgen pada urin juga dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker payudara pada wanita paska menopause. Level serum progesteron tidak dihubungkan dengan risiko kanker payudara pada wanita paska menopause; dimana pada wanita pre menopause, level progesteron darah merupakan kebalikannya sehubungan dengan resiko kanker payudara. Semua bukti ini mendukung hipotesis bahwa pemaparan berlebihan dan kumulatif terhadap estrogen endogen sepanjang kehidupan seorang wanita mendukung dan mungkin saja menjadi faktor penyebab pada kanker payudara.

Studi epidemiologi observasi dan percobaan klinis acak menyelidiki efek terapi-penggantian jangka panjang – dengan estrogen saja (terapi-penggantian estrogen) atau dengan estrogen plus progestin (terapi-penggantian hormon) – pada beragam hasil kesehatan, termasuk kanker payudara. Di Amerika Serikat preparat penggantian-utama terdiri dari estron terkonjugasi serta beragam estrogen equine terkonjugasi tersendiri atau dikombinasi dengan medroksiprogesteron asetat. Sebuah data meta-analisis dari 51 studi observasi melibatkan lebih dari 160.000 wanita ditentukan bahwa untuk pengguna terapi-penggantian hormon atau estrogen untuk 5 tahun atau lebih lama (durasi penggunaan rata-rata, 11 tahun), risiko relatif adalah 1,35 (95% interval kepercayaan, 1,24 – 1,49). Komposisi hormon pada preparat terapi penggantian-hormon sebanyak 39% diketahui pada wanita-wanita ini, dan resiko penggunaan terapi penggantian-hormon atau estrogen meningkat pada derajat yang sama dengan masing-masing preparat. Risiko meningkat pada beberapa pengguna saat ini dan mereka yang telah berhenti selama 1 – 4 tahun sebelum diagnosa namun tidak pada mereka yang telah berhenti selama 5 tahun atau lebih sebelum diagnosa – mengesankan bahwa efek terapi penggantian-hormon atau estrogen mungkin reversibel.

Sebuah studi observasi terbaru pada lebih dari 54.000 wanita Perancis menunjukkan sebuah peningkatan penting yang serupa secara statistik pada risiko (risiko relatif, 1,4; 95% interval kepercayaan, 1,2 – 1,7) bagi wanita yang menggunakan terapi penggantian-hormon namun bukan terapi penggantian-estrogen. Pada studi observasi jutaan wanita terhadap wanita-wanita yang tidak diseleksi di Inggris direkrut antara tahun 1996 dan 2001, risiko relatif kanker payudara meningkat secara signifikan dengan penggunaan terapi penggantian-hormon atau estrogen dan meningkat dengan lama penggunaannya. Bagaimanapun, risiko tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan yang telah dilaporkan pada studi-studi lainnya. Dalam setahun setelah penghentian penggunaan, risiko relatif muncul kembali pada pasien yang tidak pernah menerima terapi-penggantian, lagi mengesankan bahwa efek terapi yang demikian itu adalah reversibel. Walaupun kekuatan studi ini terletak pada ukurannya yang besar, namun studi ini memiliki kelemahan penting, termasuk kepercayaan pada kuesioner tunggal dan kemungkinan pendaftaran yang dapat melambungkan risiko relatif. Namun demikian, hasil dari seluruh studi observasi ini, ketika diambil bersamaan, memberi kesan bahwa terapi penggantian-hormon yang sedang berlangsung ataupun yang terbaru dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker payudara yang kecil namun signifikan (sekalipun hanya reversibel) dan bahwa penggantian-estrogen mungkin memiliki efek yang serupa.

Pertanyaan ini diuji coba pada studi Women’s Health Initiative, sebuah percobaan prospektif dimana wanita-wanita paska menopause secara acak ditetapkan untuk menerima plasebo atau terapi-penggantian-estrogen (jika mereka telah mengalami histerektomi). Studi tersebut diakhiri bagi kedua kelompok setelah pemantauan selama kira-kira 5 tahun dikarenakan peningkatan insiden pada kanker payudara, stroke, penyakit jantung koroner dan emboli paru didalam grup yang mendapat terapi-penggantian-hormon dan peningkatan insiden stroke dan emboli paru didalam grup yang menerima terapi penggantian-estrogen, seperti dibandingkan dengan plasebo. Di dalam grup yang mendapat terapi-penggantian-hormon, resiko kanker payudara diekspresikan sebagai rasio berbahaya yang meningkat secara signifikan. Hasil-hasil ini menegaskan bahwa peningkatan risiko terapi penggantian-hormon yang diobservasi dalam meta-analisis Collaborative Group, European Prospective Investigation into Cohort Study (EPIC) terbaru dan studi Million Women, meskipun meluasnya peningkatan sebagaimana yang diperlihatkan oleh rasio berbahaya tidak dapat dibandingkan secara langsung dengan peningkatan yang diperlihatkan oleh risiko relatif. Bagaimanapun, tidak seperti meta-analisis Collaborative Group dan studi Million Women, studi Women’s Health Initiative tidak menemukan peningkatan risiko kanker payudara pada grup yang menerima terapi penggantian-estrogen, yang anggotanya telah mengalami histerektomi. Pada akhirnya, penggunaan kontrasepsi oral juga dihubungkan dengan peningkatan yang kecil namun signifikan pada risiko kanker payudara selama masa penggunaan.

Mengapa terapi penggantian-hormon dan terapi penggantian-estrogen memiliki pengaruh yang berbeda pada risiko kanker payudara tidaklah jelas. Bukannya tidak diharapkan kombinasi estrogen dan progestin meningkatkan risiko kanker payudara, semenjak progestin memiliki kecenderungan untuk meningkatkan proliferasi sel dalam jaringan payudara, dan memiliki beragam efek lainnya pada payudara. Medroxyprogesterone acetate sendiri meningkatkan insiden tumor mammae pada mencit dan anjing, namun tidak dihubungkan dengan peningkatan yang signifikan pada risiko relatif kanker payudara, dan level progestin endogen tidak dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker payudara pada wanita-wanita yang menggunakan obat-obat tersebut sebagai kontrasepsi. Secara kolektif, hasil studi epidemiologi level hormon steroid endogen dan penggunaan estrogen eksogen mendukung hipotesis bahwa estrogen berperan dan memiliki aturan penyebab pada kanker payudara, meskipun peranan progestin pada kanker payudara dihubungkan dengan terapi penggantian-hormon yang membutuhkan penyelidikan lebih lanjut.

MEKANISME ESTROGEN KARSINOGENESIS

Studi pada hewan pengerat memperlihatkan bahwa estrogen ataupun metabolit cathecol-nya merupakan karsinogen pada jaringan yang berbeda, termasuk ginjal, hati, uterus dan kelenjar mammae.

Gambar 1 merupakan garis besar dua jalur yang berbeda namun komplementer yang tampaknya sama-sama berperan pada karsinogenitas estrogen.

Metabolisme Estrogen

Gambar 2 menunjukkan metabolisme estrogen melalui jalur catechol. Fase I metabolisme pada manusia, hamster, mencit dan tikus melibatkan beberapa enzim sitokrom P-450 yang mengkatalisasi sebagian besar metabolisme oksidatif estron dan estradiol terhadap estrogen 2-hydroxycatechol (sitokrom P-450 1A1, 1A2 dan 3A) atau terhadap estrogen 4-hydroxycatechol (sitokrom P-450 1B1). Sitokrom P-450 1B1 secara normal diekspresikan pada payudara, ovarium, kelenjar adrenal, dan
uterus sebagaimana pada beberapa jaringan lainnya. Estrogen 3,4-quinone dapat membentuk adduksi tidak stabil dengan adenin dan guanin pada DNA, mengakibatkan depurinasi dan mutasi in vitro dan in vivo. Reduksi estrogen quinone kembali menjadi hydroquinone dan catechol memberikan kesempatan siklus reduksi menghasilkan jenis oksigen reaktif dan mungkin bertanggung jawab terhadap kerusakan oksidatif pada lipid dan DNA yang dihubungkan dengan pengobatan estrogen.

Fase II jalur detoksifikasi – termasuk sulfasi, metilasi, dan reaksi dengan glutation – aktif pada jaringan payudara sebagai proteksi melawan kerusakan yang disebabkan oleh metabolit reaktif bahan-bahan kimia endogen dan eksogen. Gambar 2 menunjukkan dimana metilasi catechol estrogen yang dikatalisasi oleh catechol O-methyltranferase dan estrogen semiquinone dan reaksi quinone dengan glutation dapat muncul. Sebagai tambahan untuk mencegah metabolisme catechol estrogen menjadi quinone, 2-methoxy catechol mungkin sebuah metabolit protektif. 4-hydroxyequilenin, sebuah metabolit catechol equilenin reaktif, sebuah

estrogen equine muncul pada preparat terapi penggantian-hormon, dapat menghambat detoksikasi enzim-enzim seperti glutathione S-transferase P1-1 dan catechol O-methyltransferase. Lebih lanjut catechol O-methyltransferase rekombinan dengan aktivitas rendah ditemukan lebih sensitif dibandingkan enzim asli pada hambatan oleh 4-hydroxyequilenin. Ini mengesankan bahwa metabolit estrogen equine reaktif memberi kontribusi pada kanker payudara melalui hambatan enzim protektif fase II dan meningkatkan kemungkinan bahwa wanita yang homozigot untuk varian polimorfik catechol O-methyltransferase dengan aktivitas rendah dapat menjadi peningkat resiko terdepan ketika penggunaan preparat terapi penggantian-hormon yang berisi estrogen equine.


PENANDA RESEPTOR-ESTROGEN

Gambar 3 meringkaskan jalur transduksi-sinyal reseptor-estrogen, menekankan efek-efek sehubungan dengan peningkatan proliferasi dan inhibisi apoptosis. Tabel-3 mengurutkan contoh-contoh terpilih dari kejadian-kejadian signaling yang diperantarai oleh reseptor estrogen.
Mekanisme klasik aksi langsung estrogen pada nukleus DNA melibatkan ikatan hormon pada nukleus reseptor-estrogen, yang nantinya terikat sebagai dimer-dimer pada elemen respon-estrogen di daerah pengatur pada gen-gen yang merespon estrogen dan berhubungan dengan faktor transkripsi basal, ko-aktivator, dan ko-represor untuk mengubah ekspresi gen. Sejak penemuan dan karakterisasi awal reseptor-estrogen α pada tahun 1960, penelitian pada mekanisme signaling reseptor-estrogen telah mengungkap kompleksitas tersebut, sebagaimana ditunjukkan oleh penemuan reseptor estrogen β dan jalur signaling yang diperantarai oleh reseptor estrogen yang jadi terhubung dengan mitokondria dan membran plasma.
Reseptor estrogen α dan β memiliki 96 % identitas asam amino dalam domain/daerah ikatan DNA mereka, dimana hanya 53 % homolog dalam domain/daerah ikatan-ligand mereka; yang nantinya diperhitungkan pada perbedaan dalam respon dua reseptor terhadap ligand yang beragam, sebagai contoh, tomoxifen dilaporkan sebagai agonis dan antagonis bagi reseptor-estrogen α namun, hanya bersifat antagonis pada reseptor-estrogen β. Juga, reseptor-estrogen β memiliki afinitas yeng lebih besar terhadap fitoestrogen beragam, seperti genestein; dibandingkan yang dimiliki reseptor- estrogen α. Reseptor-reseptor itu juga berbeda dalam aktivasi domain mereka, mengesankan bahwa mereka mungkin recruit protein-protein yang berbeda pada kompleks trankripsi, karenanya altering spesifitas efek-efek transkripsional sifat genom mereka. Lebih jauh, reseptor-estrogen berinteraksi dengan protein ko-aktivator untuk menstimulasi aktivitas
faktor-faktor transkripsi lainnya, seperti AP-1 (tabel 3). Akhirnya, reseptor faktor-pertumbuhan tirosin kinase yang beragam dapat mengaktivasi reseptor-estrogen oleh fosforilasi pada ketiadaan ligand (tabel 3).

Adanya ikatan estrogen afinitas tinggi yang spesifik dalam fraksi subseluler non-nuklear, termasuk membran plasma dan mitokondria, menyiratkan bahwa reseptor-estrogen dapat ditempatkan pada tempat ini. Tentu saja studi terbaru telah menunjukkan dengan pasti adanya reseptor-estrogen α, β atau keduanya di dalam mitokondria dari sel dan jaringan yang beragam. Genom mitokondria berisi sequence/urutan estrogen yang responsif secara potensial dan estrogen telah meningkatkan level transkrip gen yang dikode DNA pada mitokondria (tabel 3). Mekanisme impor reseptor-estrogen mitokondria tidak diketahui, meskipun reseptor-estrogen β berisi daerah peptida yang menargetkan sangkaan mitokondria. Beberapa studi dibutuhkan untuk menerangkan mekanisme impor reseptor-estrogen, untuk menentukan bagaimana fungsinya meningkatkan transkripsi DNA mitokondria, dan untuk menetapkan aturan proses dalam merespon estrogen.

Seperti faktor pertumbuhan peptida, estrogen juga menyebabkan aktivasi protein-kinase beragam, seperti protein kinase yang diaktivasi mitogen, dan meningkatkan level messenger kedua, seperti siklik AMP (cAMP), dalam hitungan menit (tabel 3). Efek non-transkripsi non-genomik ini melibatkan pembentukan batas membran pada reseptor-estrogen α, β atau keduanya dan memudahkan cross-talk antara proses signaling membran reseptor-estrogen dan jalur transduksi-sinyal lainnya. Cross-talk antara jalur messenger kedua dan genomik mungkin memiliki peranan penting dalam kontrol peranan estrogenik pada proliferase sel dan inhibisi apoptosis dan mungkin memiliki implikasi terhadap terapi.

Metabolit estrogen catechol mungkin juga berpartisipasi dalam regulasi jalur ekspresi, gen signaling, atau keduanya melalui reseptor-estrogen. Estrogen 4-hydroxycatechol dan 2-hydroxycatechol memiliki afinitas ikatan yang tinggi terhadap reseptor-estrogen manusia (150 % dan 100 %, berturut-turut, jika dibandingkan dengan estradiol) dan mempengaruhi ekspresi gen dependen reseptor-estrogen. Lebih jauh lagi, sebuah afinitas tinggi, dapat larut, sitosolik, mengikat protein untuk 4-hydroxyestradiol mungkin sebuah reseptor baru yang memperantarai efek reseptor-estrogen α-independen dan reseptor-estrogen β-independen terhadap estrogen catechol. Penilaian efek metabolit catechol pada poliferasi jaringan payudara manusia dan apoptosis yang pantas untuk penelitian tambahan.

Bersama-sama, pandangan-pandangan baru ini terhadap jalur signaling-estrogen genomik dan non-genomik multipel yang secara hebat memperluas pemahaman kita akan cross-talk potensial diantara jalur transduksi-sinyal beragam. Bagaimanapun, sebuah investigasi yang seksama dibutuhkan oleh semua jalur signaling yang saling berinteraksi diperantarai oleh reseptor-estrogen dan faktor pertumbuhan, seperti faktor pertumbuhan epidermal dan faktor pertumbuhan insulin-like (mirip insulin) 1, yang berfungsi pada jaringan payudara manusia di sel normal dan sel tumor. Hal ini dapat memfasilitasi tujuan pencapaian pemahaman komperhensif terhadap kontrol proliferasi dan apoptosis oleh estrogen dan metabolitnya, dan mungkin reveal target baru untuk intervensi terapi intervensi kombinasi.

IMPLIKASI KLINIS

Bukti klinis juga mendukung peranan estrogen pada karsinogenesis payudara. Kemampuan penurunan estrogen untuk menekan pertumbuhan kanker payudara diperlihatkan pertama kali oleh Beatson pada tahun 1896, yang melakukan ooforektomi sebagai tindakan untuk terapi paliatif. Paradoksial yang terlihat nantinya menemukan bahwa dosis farmakologis estrogen juga menghambat pertumbuhan kanker payudara dijelaskan oleh observasi terbaru bahwa estrogen juga mampu memicu jalur apoptis, secara berangsur-angsur setelah masa deprivasi estrogen.

Bukti terkuat untuk peranan estrogen pada kanker payudara telah muncul dari pengalaman dengan modulator reseptor estrogen selektif tamoxifen untuk pengobatan dan pencegahan kanker payudara. Percobaan individual dan sebuah meta-analisis percobaan klinis acak telah menunjukkan bahwa tamoxifen mengurangi resiko rekurensi bagi wanita segala usia dengan kanker payudara invasif atau insitu yang mengekspresikan reseptor estrogen α, reseptor progesteron ataupun keduanya. Studi ini juga menunjukkan bahwa tamoxifen atau raloxifene dengan plasebo. Sebuah meta-analisis dari studi-studi ini memberi kesan bahwa tamoxifen mengurangi risiko kanker payudara pada 38 % wanita sehat yang berisiko tinggi mendapat kanker payudara. Reduksi pada risiko yang terlihat untuk diyakini sebagai tumor reseptor estrogen α positif, tetap dengan hipotesis bahwa efek utama tamoxifen diperantarai lewat jalur reseptor estrogen.

Hasil dari percobaan klinis terbaru dengan inhibitor aromatase, agen-agen yang menekan sintesis estrogen melalui aromatisasi periferal, pada wanita-wanita pasca monopause dengan reseptor estrogen α atau reseptor-progesteron positif kanker payudara menguatkan akan pentingnya estrogen pada pertumbuhan kanker payudara. Beberapa percobaan acak yang besar telah membandingkan inhibitor aromatase dengan tamoxifen pada wanita-wanita pasca monopause dengan reseptor steroid awal atau lanjut positif kanker payudara. Wanita-wanita yang telah diobati dengan inhibitor aromatase memiliki hasil akhir luar biasa dan insiden lebih rendah untuk kanker payudara kontralateral dibandingkan wanita-wanita yang menerima tamoxifen. Inhibitor aromatase saat ini juga tengah dipelajari untuk kemo-prevensi pada wanita sehat pasca menopause yang berisiko untuk kanker payudara.

Pendekatan-pendekatan ini memiliki target utama yaitu jalur reseptor-estrogen klasik dengan mengurangi jumlah ligand atau reseptor atau bertentangan dengan interaksi ligand-reseptor. Bagaimanapun, pentingnya jalur non-klasik dijelaskan diatas terus meningkat dengan jelas. Model pre-klinik mengesankan bahwa resistansi pada beberapa reseptor steroid yang positif kanker payudara terhadap agen-agen seperti tamoxifen mungkin dibatalkan oleh penggunaan inhibitor reseptor tyrosin kinase, dan studi klinis sedang dalam pengembangan untuk menguji peranan terapi kombinasi dangan target signaling klasik dan non-klasik.

Kelihatannya pemahaman yang semakin baik tentang biologi molekuler pada kanker payudara akan dengan cepat membantu bidang tersebut. Studi profil-ekspresi memberi kesan bahwa kanker payudara dapat disubklasifikasikan secara molekuler. Sebagai contoh, sebuah subtipe yang dijelaskan secara molekuler, diistilahkan dengan luminal A memperlihatkan reseptor-estrogen derivat profil ekspresi gen, dimana subtipe kedua diistilahkan basal, kekurangan ekspresi reseptor-estrogen; temuan-temuan ini mengimplikasikan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan estrogen bersifat integral pada perkembangan dan pengobatan subtipe luminal A namun memainkan peranan lebih sedikit dalam emergensi pada subtipe basal. Juga bisa saja mungkin membedakan perbedaan-perbedaan molekuler yang sulit dipisahkan dalam efek-efek modulator reseptor-estrogen selektif. Hasil-hasil pada pembentukan profil ekspresi garis sel kanker payudara (MCF-7) yang telah diobati dengan modulator beragam, telah memberi kesan bahwa tamoxifen dan raloxifene memiliki efek yang sama, dimana kerja fulvestrant (regulator bawah reseptor-estrogen) berbeda. Karenanya, pemahaman yang semakin baik pada jalur signaling-estrogen dapat meningkatkan pemahaman kita terhadap perkembangan kanker payudara dan memfasilitasi intervensi tailored pada pasien terpilih secara tepat.

KESIMPULAN

Studi pada kanker payudara secara konsisten menemukan paningkatan risiko sehubungan dengan peningkatan level estrogen endogen darah, indikator klinis terhadap level estrogen darah yang meningkat secara presisten, dan pemaparan terhadap estrogen eksogen plus progestin melalui terapi penggantian-hormon dan penggunaan kontrasepsi oral. Pada hewan eksperimen, pengobatan estrogen mengarah pada perkembangan tumor payudara. Bersama-sama, observasi ini mendukung hipotesis bahwa estrogen merupakan karsinogen pada kelenjar payudara.

Mekanisme yang mana estrogen menyokong masing-masing fase proses karsinogenesis (inisiasi, promosi, dan progresi) merupakan hal yang kompleks. Bukti memberi kesan bahwa keikutsertaan metabolit estrogen genotoksik dan reseptor estrogen diperantarai signaling genomik dan non-genomik yang mempengaruhi proliferasi sel dan apoptosis pada jaringan payudara. Perluasan pada kedua jalur ini memberi kontribusi pada karsinogenesis diperantarai-eksogen dan caranya, dimana polimorfisme genetik dan faktor lingkungan memodifikasi efek jalur-jalur ini membutuhkan eksplorasi ke depannya. Meskipun demikian, pengetahuan akan peranan sentral estrogen pada kanker payudara telah mengarah pada perkembangan intervensi preventif dan terapeutik baru yang menghambat fungsi reseptor atau secara drastis mengurangi level estrogen endogen melalui penghambatan sintesisnya. Pengembangan strategi tambahan pada basis hambatan metabolisme estrogen, inaktivasi quinone reaktif dan hambatan spesifik membran reseptor estrogen diaktivasi jalur second-messenger yang mungkin mengarah pada kemampuan pendekatan intervensi efektif tambahan.

sumber : NEJM

Komentar

Postingan Populer