SINDROM NEFROTIK
I. PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 g/dl), edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria, hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T.(5)
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 g/dl), edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria, hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T.(5)
Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi
minimal,nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental,
glomerulonefritis membrano-proliferatif. Penyebab SN sekunder sangat banyak, di
antaranya penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem dan
jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit herediter-familial,
toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis,
obesitas masif. Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik).
Pada anak-anak (<16 tahun) paling
sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata
2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih
banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa
(30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita
2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa
3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak
disebabkan oleh diabetes mellitus.(5)
II.
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
Pemahaman patogenesis dan patofisiologi sangat penting dan
merupakan pedoman pengobatan rasional untuk sebagian besar pasien SN.
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria
sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan
hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular).
Perubahan integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan peningkatan
permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang diekskresikan
dalam urin adalah albumin.(5)
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membrane
basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang pertama berdasarkan
ukuran molekul (size barrier) dan
yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge
barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu.
Selain itu, konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein
melalui MBG.(1)
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif
berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria
selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya
albumin, sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul
besar seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan
struktur MBG.(1)
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan
katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat
(namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi
mungkin normal atau menurun. Pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Underfill
menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor terjadinya edema pada SN.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan
bergeser dari ekstraseluler ke jaringan interstisium dan terjadi edema.
Overfill menjelaskan bahwa retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstraseluler keluar sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus
akibat gangguan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua teori
tersebut dapat ditemukan secara bersama pada pasien SN. Faktor asupan natrium,
efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan ginjal, jenis lesi
glomerulus dan keterkaitan dengan penyakit jantung akan menentukan mekanisme
mana yang lebih berperan.(1,5)
Hiperlipidemia disebabkan
oleh kolesterol serum, Very Low Density Lipoprotein
(VLDL), Low Density Lipoprotein (LDL), Trigliserida meningkat sedangkan High
Density Lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Mekanisme
hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dari
lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme. Semula diduga hiperlipidemia
merupakan hasil stimulasi non-spesifik terhadap sintesis protein oleh hati.
Karena sintesis protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia disimpulkan
bahwa hiperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hipoalbuminemia.
Hiperlipidemia dapat ditemukan pada SN dengan kadar albumin mendekati normal
dan sebaliknya pada pasien dengan hipoalbuminemia didapatkan kadar kolesterol
normal.(1,5)
Lipiduria dapat
disebabkan oleh lemak bebas (oval fat bodies) akibat
akumulasi lipid pada debris sel yang sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber
lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus
yang permeabel. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria daripada dengan
hiperlipidemia.(1,5)
Edema Dahulu diduga edema disebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma akibat hipoalbuminemia dan retensi natrium. Hipovolemi
menyebabkan peningkatan renin, aldosteron, hormon antidiuretik dan katekolamin
plasma serta penurunan Atrial Natriuretic Peptide (ANP). Pemberian infus
albumin akan meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus
dan ekskresi fraksional natrium klorida dan air yang menyebabkan edema
berkurang. Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Bukti adanya
ekspansi volume adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang rendah serta
peningkatan ANP.
Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan kedua teori ini,
misalnya disebutkan bahwa pembentukan edema merupakan proses dinamis.
Didapatkan bahwa volume plasma menurun secara bermakna pada saat pembentukan
edema dan meningkat selama fase diuresis.(5)
Hiperkoagulabilitas disebabkan oleh hilangnya
antitrombin (AT) III, protein S, C dan plasminogen activating factor
dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen,
peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya
faktor zimogen (faktor IX, XI).(5)
Kerentanan terhadap infeksi terjadi akibat defek imunitas humoral, selular dan gangguan sistem
komplemen. Penurunan kadar imunoglobulin IgG, IgA dan gamma globulin
karena kehilangan lewat ginjal yang terbuang melalui urin, penurunan sintesis
dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi
bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus.
Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering
terjadi bronkopneumonia dan peritonitis.(1,5)
III.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan
gejala dan hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium terhadap
air kemih menunjukkan kadar protein yang tinggi. Terdapat proteinuria terutama albumin (85 –
95%) sebanyak 10 –15 gr/hari. Ini dapat ditemukan dengan pemeriksaan Essbach.
Selama edema banyak, diuresis berkurang, berat jenis urine meninggi. Sedimen
dapat normal atau berupa toraks hialin, dan granula lipoid, terdapat pula sel
darah putih. Konsentrasi albumin dalam darah adalah rendah karena protein vital
ini dibuang melalui air kemih dan pembentukannya terganggu. Kadar natrium dalam
air kemih adalah rendah dan kadar kalium dalam air kemih adalah tinggi.
Konsentrasi lemak dalam darah adalah tinggi, kadang sampai 10 kali konsentrasi
normal. Kadar lemak dalam air kemih juga tinggi. Bisa terjadi anemia. Faktor pembekuan darah bisa
menurun atau meningkat. Analisa air kemih dan darah bisa menunjukkan
penyebabnya. Jika penderita mengalami penurunan berat badan atau usianya
lanjut, maka dicari kemungkinan adanya kanker. Biopsi ginjal terutama efektif dalam mengelompokkan kerusakan
jaringan ginjal yang khas.(4,6)
IV.
GEJALA KLINIS
Gejala
awalnya bisa berupa :
-
berkurangnya nafsu makan
-
pembengkakan kelopak mata
-
nyeri perut
-
pengkisutan otot
-
pembengkakan jaringan akibat penimbunan garam dan air
- air
kemih berbusa.(4)
Perut bisa membengkak karena terjadi
penimbunan cairan dan sesak nafas bisa timbul akibat adanya cairan di rongga
sekitar paru-paru (efusi pleura). Gejala lainnya adalah pembengkakan
lutut dan kantung zakar (pada pria). Pembengkakan yang terjadi seringkali
berpindah-pindah ; pada pagi hari cairan tertimbun di kelopak mata dan setalah
berjalan cairan akan tertimbun di pergelangan kaki. Pengkisutan otot bisa
tertutupi oleh pembengkakan. Pada anak-anak bisa terjadi penurunan tekanan
darah pada saat penderita berdiri dan tekanan darah yang rendah (yang bisa
menyebabkan syok). Tekanan darah pada penderita dewasa bisa rendah,
normal ataupun tinggi.(4)
Produksi air kemih bisa berkurang
dan bisa terjadi gagal ginjal karena rendahnya volume darah dan
berkurangnya aliran darah ke ginjal. Kadang gagal ginjal disertai penurunan
pembentukan air kemih terjadi secara tiba-tiba. Kekurangan gizi bisa terjadi
akibat hilangnya zat-zat gizi (misalnya glukosa) ke dalam air kemih.
Pertumbuhan anak-anak bisa terhambat. Kalsium akan diserap dari tulang. Rambut
dan kuku menjadi rapuh dan bisa terjadi kerontokan rambut. Pada kuku jari
tangan akan terbentuk garis horisontal putih yang penyebabnya tidak diketahui.(4)
Lapisan perut bisa mengalami peradangan (peritonitis).
Sering terjadi infeksi oportunistik (infeksi akibat bakteri yang dalam
keadaan normal tidak berbahaya). Terjadi kelainan pembekuan darah, yang akan
meningkatkan resiko terbentuknya bekuan di dalam pembuluh darah (trombosis),
terutama di dalam vena ginjal yang utama. Di lain pihak, darah bisa
tidak membeku dan menyebabkan perdarahan hebat. Tekanan darah tinggi disertai
komplikasi pada jantung dan otak paling mungkin terjadi pada penderita yang
memiliki diabetes dan penyakit jaringan ikat.(4)
V.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan SN terdiri dari
pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan
non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan mengobati
komplikasi.
§ Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring
dapat membantu mengontrol edema,
§ Furosemid oral 40 mg/hari dapat diberikan dan bila
resisten dapat dikombinasi dengan Tiazid, Metalazon, dan atau Asetazolamid
untuk mengurangi edema,
§ Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia
dan mengurangi resiko komplikasi yang ditimbulkan,
§ Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 g/kg BB/hari dapat
mengurangi proteinuria,
§ Obat penghambat enzim konversi angiotensin
(ACE-Inhibitors) → captopril, lisinopril dan enalapril dosis rendah, serta
antagonis reseptor angiotensin II (Angiotensin II Receptor Antagonist) dapat
menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam
menurunkan proteinuria,
§ Obat penurun lemak golongan statin seperti
Simvastatin, Pravastatin dan Lovastatin dapat menurunkan kadar kolesterol LDL,
trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL,
§ Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) ternyata juga dapat
memperbaiki proteinuria karena menghambat inflamasi dan fibrosis interstisium,
menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi molekul akibat kerja
angiotensin II lokal pada ginjal. Kombinasi ACE-Inhibitors dan ARB dilaporkan
memberi efek anti-proteinuria lebih besar pada glomerulonefritis primer
dibandingkan pemakaian ACE-Inhibitors atau ARB saja,
§ Pemberian
NSAID dapat mengurangi kadar fibrinogen dan mencegah agregasi trombosit →
Indometasin 3x50 mg,
§ Untuk
mencegah penyulit hiperkoagulabilitas yaitu tromboemboli yang terjadi pada
kurang lebih 20% kasus SN maka digunakan Dipiridamol (3x75 mg) atau Aspirin
(100 mg/hari) sebagai anti agregasi trombosit dan deposisi fibrin/trombus.
Selain itu obat-obat ini dapat mengurangi secara bermakna penurunan fungsi
ginjal dan terjadinya gagal ginjal tahap akhir,
§ Antibiotik
diberikan jika ada infeksi,
§ Obat untuk
mengatasi auto-imun pada penderita SN yang dipakai adalah :
1.
Siklofosfamid (dosis berkisar 1,5-3 mg/kg BB/hari) →
pada SN anak yang sering kambuh dengan terapi kortikosteroid, Siklofosfamid
dapat mempertahankan remisi yang dihasilkan kortikosteroid. Obat ini dapat
menghasilkan imunosupresi bila diberikan sebelum maupun sesudah adanya
perangsangan oleh Ag,
2.
Glukokortikoid seperti Prednisolon dan Prednison
(dosis prednison 1-2 mg/kg BB secara oral atau parenteral) → mekanisme kerjanya
adalah merusak limfosit imunokompeten (limfolitik) dan harus diberikan sebelum
fase induksi yaitu sebelum terjadi perangsangan oleh Ag,
3.
Siklosporin A (dosis berisi larutan 100 mg/ml pelarut
12,5% etanol dalam minyak) → mempunyai kemampuan yang selektif dalam menghambat
sel T. siklosporin harus diberikan sebelum sel T berproliferasi. Obat ini juga
bekerja menghambat proses diferensiasi dan proliferasi sel imunokompeten. Harus
diberikan dalam fase induksi.(1,2,4,5,6)
VI.
KOMPLIKASI
1. Tromboemboli
2. Hipovolemia
3. Gagal ginjal
4. Anemia
5. Hiperkolesterolemia
6. Infeksi
Pneumococcus.(3)
VII.
PROGNOSIS
Prognosisnya
bervariasi, tergantung kepada penyebab, usia penderita dan jenis kerusakan
ginjal yang bisa diketahui dari pemeriksaan mikroskopik pada biopsi. Gejalanya
akan hilang seluruhnya jika penyebabnya adalah penyakit yang dapat diobati
(misalnya infeksi atau kanker) atau obat-obatan. Prognosis biasanya baik jika
penyebabnya memberikan respon yang baik terhadap kortikosteroid. Anak-anak yang
lahir dengan sindroma ini jarang yang bertahan hidup sampai usia 1 tahun,
beberapa diantaranya bisa bertahan setelah menjalani dialisa atau
pencangkokan ginjal. Prognosis yang paling baik ditemukan pada sindroma
nefrotik akibat glomerulonefritis yang ringan ; 90% penderita anak-anak
dan dewasa memberikan respon yang baik terhadap pengobatan. Jarang yang
berkembang menjadi gagal ginjal, meskipun cenderung bersifat kambuhan. Tetapi
setelah 1 tahun bebas gejala, jarang terjadi kekambuhan.(4)
Sindroma
nefrotik akibat glomerulonefritis membranosa terutama terjadi pada
dewasa daripada 50% penderita
yang berusia diatas 15 tahun, penyakit ini secara perlahan akan berkembang menjadi gagal ginjal. 50% penderita
lainnya mengalami kesembuhan atau memiliki proteinuria menetap tetapi dengan
fungsi ginjal yang adekuat. Pada anak-anak dengan glomerulonefritis membranosa,
proteinuria akan hilang secara total dan spontan dalam waktu 5 tahun setelah
penyakitnya terdiagnosis. Sindroma nefrotik familial dan glomerulonefritis
membranoproliferatif memberikan respon yang buruk terhadap pengobatan dan
prognosisnya tidak terlalu baik. Lebih dari separuh penderita sindroma nefrotik
familial meninggal dalam waktu 10 tahun. Pada 20% pendeita prognosisnya lebih
buruk, yaitu terjadi gagal ginjal yang berat dalam waktu 2 tahun. Pada 50%
penderita, glomerulonefritis membranoproliferatif berkembang menjadi gagal ginjal
dalam waktu 10 tahun. Pada kurang dari 5% penderita, penyakit ini menunjukkan
perbaikan.(4)
Komentar
Posting Komentar
mampir comment dulu sodara..