TUMOR CAVUM NASI
PENDAHULUAN
Kanker rongga hidung dan sinus
paranasal adalah tumor ganas yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus
paranasal disekitar hidung. Rongga hidung merupakan sebuah ruang dibelakang
hidung dimana udara melewatinya masuk ke tenggorokan. Sinus paranasal adalah
daerah yang dipenuhi-udara yang mengelilingi rongga hidung pada pipi (sinus
maksila), diatas dan diantara mata (sinus etmoid dan sinus frontal), dan
dibelakang etmoid (sinus sfenoid). Kanker sinus maksila merupakan tipe paling
sering kanker sinus paranasal.
Tumor jinak pada hidung dan sinus
paranasal sering ditemukan, tetapi tumor yang ganas termasuk jarang, hanya 3%
dari tumor kepala dan leher atau kurang dari 1% seluruh tumor ganas. Gejala-gejala
dan tanda klinis semua tumor hidung dan sinus paranasal hampir mirip, sehingga
seringkali hanya pemeriksaan histopatologi saja yang dapat menentukan jenisnya.
Hidung dan sinus paranasal merupakan rongga yang saling berhubungan dan
seringkali tumor ditemukan pertamakali pada stadium yang sudah lanjut, sehingga
tidak dapat ditentukan lagi asal tumor primernya. Tumor ganas hidung dan sinus
paranasal termasuk tumor yang sukar diobati secara tuntas dan angka
kesembuhannya masih sangat rendah.
Rongga
hidung dikelilingi oleh 7 sampai 8 rongga sinus paranasal yaitu sinus maksila,
etmoid anterior dan posterior, frontal dan sfenoid. Kedelapan sinus ini
bermuara ke meatus medius rongga hidung. Oleh sebab itu pembicaraan mengenai
tumor ganas hidung tidak dapat dipisahkan dari tumor ganas sinus paranasal
karena keduanya saling mempengaruhi kecuali jika ditemukan masing-masing dalam
keadaan dini. Faktor resiko, yang jika muncul, dapat meningkatkan resiko
antara lain: tembakau, infeksi, imunitas rendah, riwayat kanker, terhirup sebuk
gergaji. Gejala dan tanda yang paling umum adalah: obstruksi hidung, masalah
pernafasan, nyeri lokal, pembengkakan leher dan wajah, masalah persarafan, dan
tanda metastasis. Langkah umum dalam evaluasi dugaan kanker rongga hidung
termasuk: pemeriksaan fisik, pemeriksaan endoskopi, tes urin dan darah, tes
pencitraan, dan biopsi.
EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia keganasan hidung dan sinus
paranasal merupakan 1,76% dari seluruh keganasan organ manusia atau 10% dari
seluruh keganasan Telinga, Hidung dan Tenggorok dimana nasofaring merupakan
keganasan terbanyak dengan 57%. Dari kelompok keganasan hidung dan sinus
paranasal ini ± 20% merupakan keganasan sinus maksila (di Jepang lebih tinggi
lagi yaitu 91,4% (2)), ± 24% keganasan hidung dan sinus etmoid,
sedangkan keganasan sinus sfenoid dan frontal hanya 1%. (4)Keganasan
pada hidung dan sinus paranasal ini lebih sering ditemukan pada laki-laki
dibanding perempuan dengan perbandingan 2 : 1. Dari suatu penelitan mengemukakan
bahwa data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di 10 kota besar di
Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus adalah 9,3-25,3% dari
keganasan THT dan berada di peringkat kedua setelah tumor ganas nasofaring.
ANATOMI HIDUNG
1.
Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan
bagian-bagian seperti puncak hidung, dorsum nasi, pangkal hidung (bridge),
kolumela, ala nasi dan lubang hidung (nares anterior). Hidung
luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os
nasalis) dan prosesus frontalis maksila, sedangkan kerangka tulang rawan
terdiri dari beberapa buah tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung.
2.
Romgga Hidung (Cavum Nasi)
Rongga hid ung mempunyai bentuk sebagai
sebuah terowongan dari depan ke belakang dan di tengah-tengah dipisahkan oleh
septum nasi. Lubang bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkannya dengan nasofaring.
Bagian dari rongga hidung yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh
kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang
(vibrissae). Tiap rongga hidung mempunyai 4 buah dinding,
yaitu dinding medial, dinding lateral, dinding inferior dan dinding superior.
3.
Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum
nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah (1)
lamina perpendikularis tulang etmoid, (2) vomer, (3) krista nasalis maksila dan
(4) krista nasalis os palatum. Bagian tulang rawan adalah (1) kartilago septum
(lamina kuadran-gularis) dan (2) kolumela. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang,
sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.
4.
Dinding lateral
Bagian depan dari dinding lateral
hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka yang
merupakan bagian terbesar dari dinding lateral hidung. Terdapat 4 buah konka
didalam hidung. Yang terbesar ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil
ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang paling
kecill disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri dan melekat pada maksila dan labirin
etmoid. Konka media, superior dan suprema merupakan bagian
dari labirin etmoid. Ruang yang terletak diantara konka
inferior dan dinding lateral rongga hidung disebut meatus inferior. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus media ialah ruang yang terletak
diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius
terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum
etmoid. Di sekitar hiatus semilunaris yang merupakan celah terdapat muara sinus
frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan dinding lateral
rongga hidung terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
5.
Dinding inferior
Dinding inferior merupakan dasar rongga
hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum.
6.
Dinding superior
Dinding superior atau atap hidung sangat
sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak
dari rongga hidung.
PENDARAHAN
Bagian atas rongga hidung mendapat
pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.
oftalmikus, sedangkan a. oftalmikus berasal dari a. karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksila interna.
Yang penting ialah a. sfenopalatina dan ujung a. palatina mayor. Bagian
depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor,
yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach
letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis.
PERSARAFAN
Bagian depan dan atas rongga hidung
mendapat persarafan sensoris dari n. etmoid anterior, yang merupakan cabang
dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n. oftalmikus (n. V-1). Rongga
hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila
melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum,
disamping memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor
atau autonom pada mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris
dari n. maksila (n. V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosis profundus.
Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit diatas dari ujung
posterior konka media.
SINUS PARANASAL
Ada empat pasang sinus paranasal, yaitu
sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kiri dan kanan.
Sinus paranasal berbentuk rongga didalam tulang yang sesuai dengan namanya dan
semuanya mempunyai muara (ostium) didalam rongga hidung. Perkembangan
dimulai pada fetus yang berusia 3-4 bulan (kecuali sinus frontal dan sinus
sfenoid), berupa invaginasi dari mukosa rongga hidung. Sinus maksila dan sinus
etmoid telah ada pada waktu anak lahir, dan hanya sinus ini yang dapat terkena
infeksi pada anak. Sinus frontal mulai berkembang dari sinus etmoid anterior
pada usia kurang lebih 8 tahun. Pseumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia
8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus
ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.
ETIOLOGI
Rahang atas merupakan satu dari
sedikit lokasi di kepala dan leher dimana etiologi pasti telah ditetapkan untuk
beberapa jenis tumor (Lund. 1991). Adenokarsinoma rongga
hidung dan sinus dikenal umum diantara tukang kayu (Acheson dkk, 1962). Barton
(1977) mendiskusikan peranan nikel sebagai karsinogen pada karsinoma sel
skuamosa pada pekerja nikel. Di Norwegia, modifikasi proses industri dan
program penyaringan diantara pekerja menghasilkan penurunan insiden. Di Inggris
karsinoma sel skuamosa sinus paranasal pada pekerja nikel juga penyakit yang
menentukan. (3) Pekerja nikel memiliki peningkatan 100-870
kali angka normal karsinoma sel skuamosa. Kanker ini mungkin akan berkembang
setelah 10 tahun atau lebih setelah pemaparan dan setelah 20 tahun masa laten.
Serbuk kayu, kimiawi penyamak-kulit dan pembuat perabot secara khusus
berhubungan dengan adenokarsinoma. Inhalan lain yang berhubungan dengan
malignansi termasuk pigmen krom, radium, gas mustar dan hidrokarbon. Tembakau
tidak memperlihatkan hubungan dengan kanker hidung dan sinus paranasal.
PATOLOGI
Berbagai
jenis tipe tumor berbeda telah dijelaskan terdapat pada rahang atas. Jenis
histologis yang paling umum adalah karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar 80%
kasus. Lokasi primer tidak selalu mudah untuk ditentukan dengan
sejumlah sinus berbeda yang secara umum terlibat seiring waktu munculnya
pasien. Mayoritas (60%) tumor tampaknya berasal dari antrum, 30% muncul dalam
rongga hidung, dan sisa 10% muncul dari etmoid. Tumor primer frontal dan
sfenoid sangat jarang. Limfadenopati servikal teraba muncul
pada sekitar 15% pasien pada presentasi. Gambaran kecil ini disebabkan drainase
limfatik sinus paranasal ke nodus retrofaring dan dari sana ke rantai servikal
dalam bawah. Sebagai akibatnya, nodus yang terlibat diawal tidak mudah
dipalpasi di bagian leher manapun.
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis masing-masing pasien
tertentu bergantung pada lokasi primer dan arah dan perluasan penyebaran. Tumor
rongga hidung muncul dengan gejala hidung berupa obstruksi dan epiataksis.
Tumor etmoid juga muncul dengan gejala hidung, namun juga bisa memiliki gejala
orbita seperti proptosis dan epifora, dengan diplopia menjadi gejala akhir.
Tumor sinus frontalis cenderung muncul semata-mata dengam gejala orbita. Tumor
sinus sfenoid umumnya muncul terlambat pada spesialis neurologi dengan gejala
neurologis. Merupakan sebuah instruktif untuk melihat
presentasi potensial tumor antrum.
Tumor didalam rongga antrum tidak mungkin
muncul dini kecuali secara kebetulan melibatkan nervus infraorbita memberi
perubahan pada sensasi wajah, atau perdarahan secara alternatif menimbulkan
epistaksis. Epistaksis apapun pada pasien dewasa yang tidak hipertensif
membutuhkan investigasi radiologis, namun radiografi sinus terbaik ditunda
selama 7-14 hari untuk memberi resolusi inflamasi apapun sehubungan dengan
pembungkusan hidung atau masih lebih baik CT-scan harus diperoleh. Ketika tumor
melanggar dinding antral, tanda-tanda dan gejala pasti menjadi lebih jelas,
sifat sebenarnya bergantung pada dinding tertentu yang terkikis.
Invasi ke rongga hidung menyebabkan obstruksi
hidung dan epistaksis dan tumor selalu terlihat jelas. Jarang, tumor
menyebabkan poliposis etmoid dan tampaknya polip nasal normal terlihat; dengan
demikian penting untuk memeriksa secara histologis semua bahan yang diangkat
dari hidung. Penyebaran inferior melibatkan palatum dan alveolus dapat
mengakibatkan presentasi ke dokter gigi baik dengan gigi tiruan atau gigi
ompong. Ulserasi palatum frank merupakan gejala akhir. Penyebaran anterolateral
kedalam jaringan lunak wajah dapat mengakibatkan epifora dengan melibatkan
sakus lakrimalis. Pembengkakan wajah, gangguan sensasi dan nyeri lebih sering.
Penyebaran anterior lebih mungkin mengakibatkan limfadenopati servikal teraba.
Penyebaran posterior kedalam fossa infratemporal dan basis cranii bisa
menyebabkan simtomatologi kurang jelas, hilangnya fungsi trigeminal dan trismus
terjadi akibat keterlibatan otot pterigoid. Penyebaran ke nasofaring dapat
mengkibatkan tuli sebagai akibat dari disfungsi tuba eustachius. Penyebaran
superior ke orbita menyebabkan proptosis dini dengan meningkatkan volume isi
orbita, keterlibatan langsung saraf dan otot terjadi lambat.
DIAGNOSIS
Jarangnya tumor ini, yang merupakan
< 1% dari keseluruhan malignansi (3% tumor kepala-leher), berarti bahwa
banyak dokter umum yang tidak akan melihat pasien dengan penyakit ini sepanjang
karir profesional ini. Ketidaksadaran mereka akan kondisi dan kemiripan gejala
dengan kondisi peradangan yang lebih umum lainnya pada saluran pernafasan atas
mengakibatkan kegagalan dalam menentukan diagnosis yang tepat sebelum tumor
meluas melebihi batas tulang sinus. Rata-rata penundaan antara gejala yang
pertama kali terlihat dan diagnosisnya adalah 6 bulan.
Harapan terbaik untuk diagnosis awal
terletak pada penggunaan besar-besaran pencitraan CT untuk penilaian
rinosinusitis kronis dimana gambaran radiologis akan menunjukkan diagnosis yang
benar. Penggunaan pencitraan CT dan MRI memungkinkan penggambaran yang tepat
dari perluasan tumor, dan perencanaan terinci radioterapi dan reseksi bedah
selanjutnya. Diagnosis suatu tumor dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan
histopatologi biopsi tumor.
1.
Jenis tumor
Rongga
hidung dan sinus paranasal dibatasi oleh sebuah lapisan jaringan
penghasil-mukosa dengan jenis-jenis sel sebagai berikut: sel epitel skuamosa,
sel kelenjar saliva kecil, sel saraf, sel yang melawan-infeksi, dan sel
pembuluh darah. Beberapa jenis tumor pada sel dan jaringan ini adalah:
·
Karsinoma Sel Skuamosa
Merupakan bentuk paling sering kanker
rongga hidung dan sinus paranasal yang mengenai sinus maksila dan etmoid.
Dikatakan mencapai 20% tumor pada daerah ini. (1,7) Sel
skuamosa merupakan sel datar yang membuat lapisan permukaan pipih struktur
kepala dan leher. (1) Sinus maksila terlibat 70% diikuti
keterlibatan rongga hidung dalam 20% dengan sisanya berupa etmoid. Lesi primer
yang berasal dari sinus frontal dan sfenoid jarang dijumpai. Kelainan ini
terutama mengenai laki-laki dan muncul paling sering pada dekade keenam.
Menyebar keluar dari sinus hampir merupakan kebiasaan presentasinya. Ketika
ditemukan lebih dari 90% akan menginvasi ke setidaknya satu dinding sinus yang
terlibat. Jika terdapat metastase, drainase nodus tingkat pertama adalah
melalui pleksus pra-tube kedalam nodus retrofaring dan kemudian kedalam nodus
subdigastrik. Kebanyakan kanker ini muncul pada stadium lanjut (22% T3/T4).
Reseksi bedah diikuti radiasi paska operasi direkomendasikan sebagai
penatalaksanaan kasus-kasus yang dapat direseksi.
·
Adenokarsinoma
Dimulai di sel kelenjar, merupakan bentuk
kedua tersering kanker rongga hidung dan sinus paranasal pada sinus maksila dan
etmoid diperkirakan 5-20% kasus. Lesi ini cenderung lebih berlokasi superior
dengan sinus etmoid yang paling banyak terlibat. Kebanyakan berhubungan dengan
pemaparan pekerjaan. Lesi ini muncul mirip dengan karsinoma sel skuamosa dan
dibagi secara histologis menjadi tingkat tinggi dan rendah.
·
Melanoma maligna
Berkembang dari sel yang disebut
melanosit yang memberi warna pada kulit, merupakan kanker yang agresif, namun
hanya membuat sekitar 1% tumor di area tubuh. Antara 0,5-1% dari seluruh
melanoma dikatakan berasal dari rongga hidung dan sinus paranasal, dimana
merupakan 3,5% keseluruhan neoplasma sinonasal. Insiden tertinggi pada pasien
pada dekade kelima sampai kedelapan. Rongga hidung paling sering terlibat
dengan septum anterior merupakan lokasi tersering. Antrum maksila merupakan
yang paling sering terlihat pada lokasi sinus. Biasanya terlihat sebagai massa
berdaging polipoid dan pigmentasinya beragam. Pengobatan utamanya reseksi bedah
dengan atau tanpa terapi radiasi paska operasi. Diseksi leher elektif saat ini
tidak direkomendasikan disebabkan insiden rendah metastase leher tersembunyi.
Untuk lesi rekuren, penyelamatan pembedahan, radiasi, kemoterapi atau kombinasi
mungkin diperlukan. Keseluruhan prognosisnya buruk.
·
Estesioneuroblastoma
Estesioneuroblastoma adalah tumor ganas
elemen penunjang epitel olfaktorius yang jarang terjadi. Tumor ini tumbuhnya
lambat dan mampu bermetastasis ke paru-paru dan servikal. Gejala-gejala dini
adalah epistaksis dan obstruksi hidung. CT-scan penting untuk menetapkan apakah
terdapat perluasan pada intrakranial. (10)
2.
Metastasis
Ke nodus servikal atau retrofaringeal.
Insiden metastase servikal pada presentasi berkisar 10%, meskipun hingga 44%
kasus akan secara nyata bermetatase ke area servikal. Hanya 10% pasien yang
pernah mengalami metastase jauh.
PENATALAKSANAAN
Yang penting dalam penatalaksanaan
tumor ialah, pertama menegakkan diagnosis. Kedua menentukan batas-batas tumor.
Ketiga merencanakan terapi. Menegakkan diagnosis dengan biopsi dan
pemeriksaan histopatologi, sedangkan untuk menentukan batas tumor dengan pemeriksaan
radiologis. Rencana terapi dibuat berdasarkan diagnosis histopatologi dan
stadium tumor.
Klasifikasi dan cara
menentukan stadium tumor ganas
Untuk membuat suatu sistem klasifikasi
tumor ganas yang dapat diterima oleh seluruh negara di dunia, rupanya agak
sukar bagi tumor ganas hidung dan sinus paranasal karena susunan anatominya
yang rumit dan penyakitnya seringkali ditemukan sudah dalam stadium lanjut. Pembuatan
sistem klasifikasi gunanya adalah pertama, untuk merencanakan terapi. Kedua,
untuk meramalkan prognosisnya. Ketiga, untuk mengevaluasi hasil pengobatan.
Keempat, untuk keseragaman informasi antra sentra sedunia. Kelima, untuk
membantu penelitian mengenai tumor ganas.
Biasanya klasifikasi untuk menentukan stadium
tumor ganas dipakai sistem TNM, yaitu T = Tumor, sampai dimana perluasannya, N
= Nodul, kelenjar limfe regional yang terkena dan M = Metastasis.
Sudah banyak pakar dari berbagai sentra yang
mengajukan usul sistem TNM, tetapi selama ini belum ada yang diterima secara
menyeluruh. Sub bagian onkologi di bagian THT FK-UI/RSCM biasanya mengikuti
penentuan stadium TNM yang dibuat oleh Sakai dari Jepang. Sistem TNM ini pernah
diajukan pada rapat gabungan UICC dan AJCC pada tahun 1925 dan rupanya usulan
tersebut dapat diterima karena pada tahun 1927 UICC dan AJCC telah sepakat akan
meresmikan satu sistem yang dapat diterima semua pihak dan sistem ini sama
dengan yang diajukan oleh Sakai. Sistem TNM yang dibuat ini hanya berlaku untuk
karsinoma sel skuamosa dan baru ada untuk tumor sinus maksila saja. Untuk
hidung dan sinus etmoid masih harus dipelajari lagi sedangkan untuk sinus
frontal dan sinus sfenoid tidak perlu, karena sangat jarang.
GARIS OHNGREN
Ohngren pada tahun 1933 membuat teori
tentang adanya suatu bidang imaginer yang melalui kantus medius dan angulus
mandibula. Bidang itu membagi rahang atas menjadi struktur supero-posterior (=
suprastruktur) dan struktur infero-anterior (= infrastruktur). Yang termasuk
suprastruktur adalah dinding tulang sinus maksila bagian posterior dan separuh
bagian posterior dinding atas. Sisanya termasuk infrastruktur. Tumor di daerah
infrastruktur mempunyai prognosis yang jauh lebih baik daripada tumor di
suprastruktur.
Dibawah ini adalah
klasifikasi TNM untuk karsinoma sinus maksila:
Kategori T untuk karsinoma sinus maksila
·
T1 : Tumor terbatas pada mukosa
antrum tanpa erosi atau destruksi tulang.
·
T2 : Tumor dengan erosi atau
destruksi pada infrastruktur, termasuk palatum durum dan/atau meatus medius.
·
T3 : Tumor meluas sampai ke kulit
pipi, dinding belakang sinus maksila, dasar orbita atau sinus etmoid anterior.
·
T4 : Tumor mengenai isi orbita
dan/atau invasi ke suprastruktur, salah satu dari: lamina kribriformis, sinus
etmoid posterior atau sfenoid, nasofaring, palatum mole, fosa pterigomaksila
atau temporal, dasar tengkorak.
Kategori N untuk karsinoma sinus maksila
·
N0 : Tidak ada metastasis ke
kelenjar limfe regional.
·
N1 : Metastasis tunggal pada
kelenjar limfe ipsilateral dengan diameter terbesar 3 cm atau kurang.
·
N2a : Metastasis tunggal pada kelenjar
ipsilateral dengan diameter terbesar lebih dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 6
cm.
·
N2b : Metastasis ganda kelenjar ipsilateral,
semua dengan diameter terbesar tidak lebih dari 6 cm.
·
N2c : Metastasis kelenjar limfe bilateral atau
kontralateral, semua dengan diameter terbesar tidak lebih dari 6 cm.
·
N3 : Metastasis ke kelenjar limfe
yang diameternya lebih dari 6 cm.
Kategori M untuk karsinoma sinus maksila
·
Mx : Adanya metastasis jauh tidak
dapat dinilai.
·
M0 : Tidak ada metastasis jauh.
·
M1 : Ada metastasis jauh.
Penentuan stadium karsinoma sinus maksila
·
Stadium I : T1, N0, M0
·
Stadium II : T2, N0, M0
·
Stadium III : T3, N0, M0 atau T1, T2 atau T3, N1,
M0
·
Stadium IV : T4, N0 atau N1, M0 atau semua T, N2
atau N3, M0 atau semua T, semua N, M1
PENGOBATAN
Rencana pengobatan dibuat berdasarkan
hasil pemeriksaan histopatologi dan stadium tumor bila tumor ganas. Sampai
sekarang belum ada parameter pengobatan untuk tumor ganas hidung dan sinus
paranasal. Hal ini antara lain karena kasusnya jarang sehingga belum ada yang berpengalaman untuk dapat membuat ketentuan
yang dapat diikuti, juga karena standar klasifikasi dan penentuan stadium belum
resmi ada. Untuk membuat rencana pengobatan harus dinilai kasus demi kasus
karena respon tiap jenis tumor tidak sama terhadap suatu cara pengobatan dan
juga harus dilihat sampai dimana perluasan tumornya. Kebanyakan pakar
berpendapat bahwa satu macam cara pengobatan saja hasilnya buruk, sehingga
mereka mengajukan cara terapi kombinasi antara operasi, radioterapi dan
kemoterapi.
Di bagian THT FK-UI/RSCM pengobatan tumor
ganas hidung dan sinus paranasal adalah kombinasi operasi dan radiasi, kecuali
untuk pasien yang sudah “inoperable” atau menolak tindakan operasi. Untuk
pasien ini diberikan radioterapi sesudah dibuatkan antrostomi.
Radioterapi dapat dilakukan sebelum atau
sesudah operasi. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Untuk tumor
yang sangat besar, radioterapi dilakukan lebih dulu untuk mengecilkan tumornya
dan mengurangi pembuluh darah sehingga operasi akan lebih mudah. Tetapi bila
telah dilakukan radiasi dulu, sesudah selesai banyak pasien yang kemudian tidak
kembali untuk operasi karena merasa tumornya sudah mengecil atau ada yang tidak
mau operasi karena efek samping radioterapi yang berkepanjangan. Sekarang lebih
disukai radiasi paska operasi, karena sekaligus dimaksudkan untuk memberantas
mikro-metastasis yang terjadi atau bila masih ada sisa tumor yang tidak
terangkat pada waktu operasi.
Luasnya operasi tergantung pada sampai
dimana batas tumornya. Bila tumor di sinus maksila dan infrastruktur dilakukan
maksilektomi parsial. Bila tumor sudah memenuhi maksila dilakukan maksilektomi
radikal, yaitu mengangkat seluruh isi rongga sinus maksila, ginggivo-alveolaris
dan palatum durum. Bila tumor sudah sampai ke mata dilakukan eksenterasi
orbita. Bila sinus sfenoid terkena dilakukan operasi kranio-fasial dengan
bantuan ahli bedah saraf. Bila tumor sudah meluas ke nasofaring dan fosa
pterigopalatina kita anggap sudah “inoperable” dan hanya diberikan penyinaran
saja.
Operasi maksilektomi memerlukan
prostesis untuk mengganti kedudukan maksila yang dibuang. Protesis ini
dikerjakan oleh dokter gigi dan harus dipersiapkan sebelum operasi dan langsung
dipasang pada waktu operasi karena kalau tidak, akan terjadi kontraksi jaringan
yang akan sulit diperbaiki kemudian. Pada eksenterasi orbita, juga diperlukan
protesis bola mata. Pada kebanyakan operasi tumor hidung dan sinus, sesudah
operasi sering diperlukan perbaikan wajah dengan bedah plastik.
Jadi, untuk penanganan tumor ganas
hidung dan sinus, diperlukan kerja sama yang baik antar berbagai disiplin ilmu,
yaitu ahli bedah THT, ahli radiologi, ahli patologi, ahli bedah mata, ahli
bedah saraf, ahli bedah plastik dan dokter gigi.
PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis kurang baik.
Beberapa hal yang mempengaruhi prognosis antara lain adalah 1) diagnosis
terlambat dan tumor sudah meluas sehingga sulit mengangkat tumor secara en
bloc, 2) sulit evaluasi paska terapi karena tumor berada dalam rongga; 3) sifat
tumor yang agresif dan mudah kambuh. Untuk stadium dini, angka kesembuhan
5 tahun lebih dari 70%, sedangkan untuk stadium lanjut berkisar antara 20-30%
saja. Paska operasi dengan pemasangan obturator pengganti palatum sangat
bermanfaat untuk memperbaiki kualitas hidup penderita terutama untuk proses
menelan dan berbicara yang tidak terlalu banyak mendapat kesulitan.
KESIMPULAN
Kanker rongga hidung atau sinus
paranasal adalah sebuah kondisi yang sangat mematikan dan terutama tidak nyaman
dengan pembawaannya yang jelas baik bagi pasien maupun bagi keluarganya.
Keganasan pada hidung dan sinus paranasal ini lebih sering ditemukan pada
laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 2 : 1. Etiologi diakibatkan
pemaparan terhadap lingkungan pekerjaan. Pekerja nikel memiliki peningkatan
100-870 kali angka normal karsinoma sel skuamosa. Jenis histologis yang paling
umum adalah karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar 80% kasus. Gejala klinis
yang paling sering, obstruksi hidung dan epistaksis. Diagnosis suatu tumor
dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi biopsi tumor. Kebanyakan
pakar berpendapat bahwa satu macam cara pengobatan saja hasilnya buruk,
sehingga mereka mengajukan cara terapi kombinasi antara operasi, radioterapi
dan kemoterapi. Pada umumnya prognosis kurang baik.
Komentar
Posting Komentar
mampir comment dulu sodara..