Analisa kasus DIABETES dan HIPERTENSI.



            Yanto 63 tahun mendatangi sebuah klinik di sebuah rumah sakit bilangan Jakarta timur. Dia mengeluhkan ada gangguan pada matanya. Ketika berkonsultasi dengan dokter umum, dia disarankan untuk berkonsultasi ke bagian penyakit dalam. Apalagi dari hasil pemeriksaan tekanan darah, tekanan darah yanto sangat tinggi.

           “dokter saya itu mengira, saya terkena retinopati diabetika. Apalagi saya adalah penderita diabetes,” ujar pensiunan tentara itu. Yanto terdiagnosa menderita diabetes mellitus tipe 2 lima tahun yang lalu, secara tidak sengaja. Pada awalnya, bapak tiga anak itu hanya datang ke dokter dengan keluhan pneumonia. “ saya sama sekali tidak sadar kalau saya kena diabetes, karena peyakit ini tidak menunjukkan gejala apapun,”katanya mengenang.

            Dokter penyakit alam melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap yanto. Memang benar perkiraan dokter seelumnya, bahwa dia mengalami retionpati diabetika dan makulopati. Tetapi, tidak ada gejala neuropati diabetika, dan tidak diketauhi adanya penyakit kardiovaskuler. Yanto mengalami obesitas dengan indeks massa tubuh 32 kg/m2. saat itu yanto menggunakan metformin, statin,aspirin dosis rendah dan enalapril 20 mg/hari.


           Pemeriksaan tekanan darah di klinik menunjukkan 160/95 mmHg saat duduk, dan albuminuria sebesar 1100 mg/24 jam. Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukan tanda-tanda left ventrikular hyperthropi. Sampel darah menujukan glycosylated haemoglobin (HBA1c) sebesar 8,0% dan kadar kreatinin plasma sebesar 85 mol/L. Yanto diduga menderita neropati diabetika. Tanda-tandanya adalah peningkatan ekskresi albumin melalui urin, akibat mikroalbuinuria (30-300 g/24 jam ) untuk bermanifestasi sebagai albuminuria (> 300 mg/24 jam), peningkatan tekanan darah, penurunan fungsi ginjal, berkembangnya uremia dan end stage renal disease. Bersamaan dengan itu, resiko berkembangnya penyakit kardiovaskuler meningkat tajam. Pada kasus ini renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS) berperan penting dalam proses bekembangnya penyakit ginjal diabetika, serta penyakit kardiovaskuler. Agen yang dapat menghambat RAAS diketahui dapat melindungi ginjal, terlepas dari efek penurunan tekanan darah.

            Maka pasien dengan DM tipe 2 yang mengalami albuminuria persisten harus diobati dengan ACE1. Pada DM tipe 2 yang disertai dengan hipertensi dan microalbuminuria, ACE1 dan angiotensinogen II receptor blockers (ARBs) terbukti dapat menunda berkembangnya macroalbuminuria.

              Sebab itu, dokter penyakit dalam menambahkan ARBs pada regimen pengobatan yanto, selain obat-obatan yang sudah digunakannya selama ini. “ obat obatan sepeti meformin dan aspirin tetap digunakan, karena kita ingin menangani semua factor resiko yang dimiliki pak yanto,” kata dokter yang menangani.

              Bagaimana jika tekanan darah tidak segera turun mencapai targert? ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Antara lain dengan meningkatkan dosis atau mengombiasikan obat ACE1. Penghambatan RAAS yang lebih agresif, bisa menjadi strategi yang efektif. Sehingga tekanan darah bisa cepat turun dan organ target bisa dilindungi.
Sampai saat ini, yanto masih terus minum obat yang diberikan oleh dokter. Dia juga rutin memeriksakan tekanan darah dan konsultasi ke dokter. Untungnya semuanya sudah di cover oleh asurasi.” Memang repot. Saya harus minum lebih dari  4 macam obat setiap hari,” kata yanto. Beruntung ada anaknya, yang selalu mengingatkannya dan mempersiapkan obat untuk sang ayah.
“alhamdulillah hinga saat ini kesehatan saya selalu terjaga,” tutur yanto sambil tersenyum.

Dikutip: Ethical digest juni 2009


Komentar

Postingan Populer