INDIKASI TRANSFUSI DARAH
Indikasi untuk transfusi darah makin dipertanyakan. Transfusi
darah biasanya diberikan untuk meningkatkan
kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Walaupun
demikian, berdasarkan teori, peningkatan volume vaskular seharusnya bukan
merupakan suatu indikasi untuk transfusi darah, karena volume intravaskular
dapat diperbesar dengan pemberian cairan yang tidak menularkan infeksi
(misalnya, kristaloid atau koloid). Sehingga, peningkatan kapasitas
pengangkutan oksigen merupakan satu-satunya indikasi nyata untuk transfusi
darah. Dari segi praktisnya, bila seorang pasien mengalami perdarahan, darah
tepatnya diberikan untuk meningkatkan baik kapasitas pengangkutan oksigen dan
volume intravaskular. Secara kritis berapa nilai hematokrit/ hemoglobin yang diperlukan
untuk kapasitas pengangkutan O2. Dalam sejarah, hematokrit kurang
dari 30% (atau hemoglobin kurang dari 10 g/dl) menunjukkan kebutuhan untuk
transfusi darah perioperatif. Bagaimanapun juga ketakutan pada tahun-tahun
terakhir akan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh transfusi, khususnya
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), menyebabkan peninjauan ulang
terhadap indikasi ini. Jelaslah transpor oksigen dapat dipertahankan dengan hematokrit hingga 20%. Dengan anggapan volume intravaskular normal
dan respon kompensasi kardiovaskular normal (contohnya, takikardi).
Baru-baru
ini, National Institutes of Health Consensus Conference berpendapat bahwa
pasien-pasien sehat dengan hematokrit lebih besar daripada 30% jarang
membutuhkan transfusi darah perioperatif sedang pasien-pasien tersebut dengan
anemia akut (misalnya, kehilangan darah intraoperatif) dengan hematokrit kurang
dari 21% seringkali membutuhkan transfusi darah. Defenisi akhir kadar
hematokrit atau hemoglobin yang dibutuhkan untuk melakukan transfusi darah
harus berdasarkan pada banyak faktor seperti status kardiovaskular, umur,
kehilangan darah yang diantisipasi, oksigenasi arterial, cardiac output, dan
volume darah. Yang lebih memperumit permasalahan ini, indikasi untuk transfusi
darah mungkin juga tergantung pada sumber darah. Sebagai contoh,
indikasi-indikasi untuk darah autolog mungkin lebih liberal karena tidak akan
menyebarkan penyakit (misalnya, hepatitis dan AIDS) dibandingkan dengan darah
homolog. Bagaimanapun juga, darah autolog sebaiknya tidak dipandang sepenuhnya
aman karena adanya kemungkinan kesalahan klinis dan reaksi hemolitik sesudah
transfusi.
Pada bulan Juli 1989 FDA Drug Bulletin,
memberikan panduan keras untuk pemberian sel darah merah. Bulletin tersebut
menyatakan bahwa “kapasitas pengangkutan oksigen adekuat dapat dipenuhi dengan
hemoglobin 7 g/dl atau bahkan lebih kurang bila volume intravaskular adekuat
untuk melakukan perfusi.” Ada kondisi medis yang dapat membenarkan pemberian
darah untuk mencapai hemoglobin yang lebih tinggi (misalnya, penyakit arteri
koroner). Meskipun demikian,
kekhawatiran bahwa transfusi darah seringkali diberikan secara tidak
tepat sehingga diperlukan penelitian yang lebih cermat terhadap praktek
transfusi. Sebagai contoh, banyak komite transfusi rumah sakit mengadakan
pemeriksaan ulang pada pasien-pasien didapatkan hematokrit postoperatif lebih
tinggi dari normal (33-34 %) dan menerima darah sehingga perlu ditinjau kembali
indikasi pemberian transfusi darah. Peninjauan ini dilakukan untuk menentukan
apakah darah telah diberikan dengan tepat. Bila ditemukan transfusi yang tidak
tepat, baik dokter dan komite transfusi akan mengevaluasi lebih lanjut
ketepatan transfusi tersebut. Sehingga seorang dokter ahli anestesi harus
menyatakan secara jelas dalam status rumah sakit alasan pemberian transfusi
darah.
Yang terbaru, biasanya pada pasien-pasien
perawatan intensif, beberapa kelompok telah mencoba mendefenisikan keadaan
dimana transfusi darah sebaiknya diberikan dengan mengukur oksigenasi jaringan
dan hemodinamik (contohnya, peningkatan konsumsi oksigen sebagai respon
terhadap kandungan oksigen). Tidak ada pengukuran spesifik yang dapat secara
konsisten memperkirakan kapan seorang pasien diuntungkan oleh transfusi darah.
Walaupun demikian terdapat bukti bahwa
kualitas (contohnya, umur) dan peningkatan kapasitas oksigen (misalnya,
hemoglobin lebih tinggi dari 10 g/dl) dapat menguntungkan pasien yang sangat
tidak sehat. Kenyataannya satu penelitian menemukan bahwa bila darah yang
disimpan lebih dari 15 hari diberikan, akan terjadi iskemia limpa.
Lebih baru lagi, konsep yang ditegaskan oleh Purdy et al
menyatakan bahwa pasien-pasien yang menerima darah yang berumur 17 hari
dibandingkan dengan darah yang berumur 25 hari mempunyai tingkat kelangsungan
hidup yang lebih tinggi. Pengaruh usia darah yang diberikan akan didiskusikan
nanti pada presentasi ini.
Mungkin indikator lebih sensitif terhadap
oksigenasi jaringan (misalnya, pH intramukosal) dapat menjadi indikasi untuk
transfusi darah. Menggunakan data pada
sebuah populasi pembedahan orthopedik, variasi kadar hemoglobin tidak
berhubungan dengan lamanya hospitalisasi. Namun, atlit yang terlatih dan
pasien-pasien kardiak postoperatif mengalami perbaikan kemampuan fisik bila
kadar hemoglobin ditingkatkan. Sebaliknya, Weiskopf et al menemukan, pada pasien-pasien yang sehat,
penurunan konsentrasi hemoglobin hingga 5.0 g/dl tidak menyebabkan adanya bukti
oksigenasi yang tidak adekuat. Bagaimanapun juga pasien-pasien ini tidak
dipermasalahkan dengan stress pemulihan dari pembedahan dan anesthesia.
Bagaimanapun juga, Weiskopf et al
menemukan bahwa pasien yang tidak dapat meningkatkan cardiac outputnya
dengan cara meningkatkan denyut jantungnya sebaiknya menerima transfusi hingga
kadar hemoglobin lebih dari 10 g/dl. Sayangnya, tidak dapat dihasilkan
kesimpulan tepat dari data yang sangat berguna tapi bersifat usulan ini.
American Society of Anesthesiologists
(ASA) telah mengembangkan Panduan Praktek untuk Terapi Komponen darah.
Rekomendasi ASA untuk transfusi darah adalah:
Komentar
Posting Komentar
mampir comment dulu sodara..