Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI)

Solusi atau Masalah baru?
Sekilas Uji Kompetensi
Pada tahun 2004, dunia kedokteran dikejutkan oleh pemberlakuan undang-undang baru di dunia kedokteran, yang selama ini hampir tidak tersentuh hukum. Ketakutan masyarakat terhadap permasalahan praktik kedokteran, termasuk di dalamnya malpraktik, telah dijawab oleh pemerintah dengan diberlakukannya Undang-undang no. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran. Meskipun diharapkan dapat menjawab permasalahan, ternyata justru muncul permasalahan baru terkait adanya pasal yang dinilai kontroversial. Termasuk di dalamnya, larangan berpraktik lebih dari tiga tempat, hukuman bagi dokter yang lalai memasang papan nama dokter, dan sertifikasi kompetensi kedokteran. Permasalahan yang paling terakhir inilah yang paling menarik karena membawa revolusi dalam tatanan kehidupan kedokteran.
Menurut amanat UU no. 29 tahun 2004, setiap dokter harus melampirkan sertifikat kompetensi jika ingin melakukan registrasi di Konsil Kedokteran Indonesia. Hal ini menjadi mutlak karena izin praktik dokter hanya dapat diberikan kepada dokter yang telah terdaftar di konsil. Untuk mendapatkan sertifikasi tersebut, diadakanlah suatu prosesi uji kompetensi yang diatur dan diselenggarakan oleh kolegium disiplin ilmu terkait. Sasaran ujian ini adalah semua dokter yang akan/telah berpraktik, tanpa terkecuali dokter umum, dokter spesialis, sampai guru besar. Uji Kompetensi Dokter Indonesia ini bertujuan antara lain untuk memberikan informasi tentang kompetensi dokter secara komprehensif –pengetahuan, keterampilan, dan sikap – kepada pemegang kewenangan yang memberikan sertifikat kompetensi. Ujian akan dilaksanakan dalam kurun waktu 5 tahun sekali dengan bentuk ujian bisa berupa ujian tulis, portfolio, atau bahkan OSCE. Khusus untuk dokter yang baru lulus, terdapat hal yang khusus. Lulusan dokter kurikulum lama dengan masa studi 6 tahun akan diuji kompetensinya dengan ujian tertulis. Sedangkan lulusan dokter kurikulum fakultas 2005 dengan masa studi 5 tahun mengalami uji kompetensi dengan mengikuti internship selama 1 tahun. Uji kompetensi dilaksanakan dua kali dalam setahun dan telah dilaksanakan dua kali semenjak pertama kali dirumuskan. Untuk lulusan dokter per Juli 2007, yang pertama diadakan pada Juni 2007 dan yang kedua baru saja pada 18 Februari 2008. Soal-soal uji kompetensi terdiri dari 200 butir dengan waktu pengerjaan 200 menit. Bentuk soalnya adalah pilihan ganda berupa analisis kasus.

Permasalahan Uji Kompetensi
Dengan adanya uji kompetensi, dokter dituntut untuk senantiasa mengetahui hal-hal terbaru dalam dunia kedokteran. Selain itu, kualitas keprofesian dokter akan selalu bisa diawasi karena setiap dokter yang ada di Indonesia telah disamakan standarnya. Uji kompetensi juga menjadi sebuah simbol kemapanan dunia kedokteran karena mengikuti standar internasional dimana setiap profesi memiliki kualifikasi negara.
Sayangnya, di balik hal-hal positif di atas, ternyata uji kompetensi juga menyertakan kekurangan yang prinsipil. Hal yang paling utama adalah masalah dana dan waktu yang berlarut-larut. Sejak sistem ini diberlakukan, dokter dan lulusan dokter menjadi “pengangguran” karena tidak bisa berpraktik tanpa surat tanda registrasi dan izin praktik. Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan uji kompetensi perdana, uji kompetensi dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 2007 dengan pengumumannya 27 Juli 2007. Setelah itu, pengurusan STR dan SIP menghabiskan kira-kira waktu 2 bulan. Setelah kita lulus dari pendidikan dokter yang lama, kita masih harus meluangkan waktu dan dana untuk dikorbankan. Selanjutnya, kualitas soal dianggap tidak merefleksikan kompetensi dokter sebagai first-line care provider. Bisa dipahami karena, lagi-lagi menurut yang telah mengikuti uji kompetensi, kebanyakan soal yang diujikan berasal dari uji coba UKDI yang diadakan beberapa waktu sebelumnya dan juga meminta dana dari pesertanya.
Kontroversi terakhir adalah perkara kompetensi kedokteran itu sendiri. Mirip dengan kontroversi Ujian Nasional SMP dan SMA. Pendidikan kedokteran, baik kurikulum lama dan kurikulum berbasis kompetensi, terbagi dalam dua fase klinik dan preklinik yang mengharuskan mahasiswanya untuk lulus dan kompeten. Terutama untuk fase klinik, mahasiswa diharuskan untuk lulus ujian masing-masing departemen sehingga argumen ini menjadi dasar penentangan terhadap UKDI. Memang keadaan fakultas kedokteran di Indonesia tidak semuanya sama standarnya sehingga ada anggapan diperlukan suatu standardisasi. Namun lagi-lagi hal ini menjadi rancu karena jika memang standar yang disorot, maka sudah menjadi tanggung jawab negara untuk merangsang perkembangan kurikulum kedokteran sehingga ada kejelasan standar pendidikan kedokteran.
Melihat fenomena ini, tak dapat dipungkiri lagi standar pendidikan dokter sangat diperlukan. Standar ini harus disusun oleh lembaga-lembaga yang mengurusi pendidikan kedokteran dan disesuaikan pada kurikulum pendidikan dokter serta permasalahan kesehatan di masyarakat. Selanjutnya standar pendidikan kedokteran ini dijadikan acuan oleh setiap fakultas kedokteran di Indonesia tanpa terkecuali dan setiap fakultas kedokteran wajib memastikan lulusannya memiliki kompetensi yang telah distandarkan. Bila hal ini telah dilakukan, maka kompetensi lulusan dokter tidak harus diuji lagi dalam bentuk ujian tertulis yang berpotensi menguras anggaran. Sebagai alternatif, dokter dapat diharuskan untuk mengikuti seminar atau pelatihan tertentu dalam kurun waktu tertentu serta wajib memenuhi batasan tertentu pula sehingga dianggap berkompeten, misalnya dalam bentuk mengumpulkan sejumlah SKP dalam 5 tahun.
Sistem ujian tertulis memang bukan suatu bentuk solusi jangka panjang. Tetap diperlukan suatu usaha untuk menguji kompetensi dokter secara kontinyu sehingga kompetensi dokter Indonesia semakin terasah dan masyarakat semakin diuntungkan.
ditulis oleh Herjuno Ardhi,
pada Seri Pencerdasan Terpadu Februari 2008

Komentar

Postingan Populer